Kamis, 12 Januari 2012

KRITIK SASTRA

KRITIK SASTRA

SASTRA YANG TIDUR DALAM KULKAS

“Aku tidur di depan sebuah kulkas. Suaranya berdengung seperti kaus kakiku di siang hari yang terik. Di dalam kulkas itu ada sebuah negara yang sibuk dengan jas, dasi, dan mengurus makanan hewan. Sejak ia berdusta, aku tidak pernah memikirkannya lagi.” Demikianlah bunyi empat baris pertama sajak Afrizal Malna yang berjudul “Persahabatan Dengan Seekor Hewan” yang muncul dalam kolom yang sama dengan esai Suryadi berjudul “Dobrak Kultus Menjadikan Merek Dagang.” Kalau saja Afrizal yang prose-poem itu tidak malu-malu bicara soal “isu lama untuk pusat baru”, yaitu persoalan “Apakah sastra harus dengan teguh mengemban komitmen sosialnya atau sebaliknya, tetap bertengger di menara gading”, karena telah melakukan pilihannya, maka esai Suryadi dengan tegas menolak memilih satu di antara keduanya tapi menawarkan sebuah pilihan baru yaitu sastra sebagai “merek dagang”.     
Kalau penyair bentuk eksperimental Afrizal Malna masih memilih sastra yang juga peduli pada isi, maka pengajar atau dosen sebuah universitas di Belanda, Suryadi malah merasa letih oleh debat antara bentuk dan isi karya sastra dan menganjurkan agar meningkatkan kehormatan karya sastra Indonesia di mata pembacanya dengan melakukan populerisasi karya sastra, paling tidak lewat promosi dunia pariwisata. Betapa ironis, seorang penyair eksperimental pariwisata masih menganggap isi puisinya penting, sementara seorang akademisi yang seharusnya menghasilkan kritik sastra, malah menganjurkan kiat dagang untuk menjual karya sastra demi menaikkan kehormatan sastra.
Apa yang saya pahami dalam esai Suryadi tersebut adalah keyakinannya yang kuat bahwa sastra Indonesia tidak “bergengsi”, kalau pun ada, maka rendah di mata pembacanya. Saya berusaha mencari tahu apa alasan Suryadi untuk membuat pernyataannya itu, tapi saya gagal menemukan dalam esainya. Apa yang saya temukan justru laporan atas apa yang dikatakan oleh dua orang penulis Perancis, yang menurut Suryadi merupakan “teori sastra terkini”, tentang fungsi sosiologis sastra di sebuah masyarakat kapitalis seperti Perancis, yaitu sastra sebagai simbol status sosial. Saya membaca sastra, maka saya ada dalam kelas sosial tertentu, begitu mungkin penjelasan kemudahannya.
Lantas di manakah relevansi kutipan di luar konteks dari Pierre Bourdieu dan sebagainya itu dengan rendahnya kehormatan sastra Indonesia di mata pembacanya? Atau, sudah tepatkah gambaran pembaca sastra yang dimaksudkan oleh Bourdieu dengan realitas pembaca Indonesia? Mungkin sebuah pertanyaan ekstrim bisa dilontarkan: adakah pembaca sastra Indonesia, paling tidak dalam pengertian yang dimaksudkan Bourdieu di atas, yakni pembaca yang membaca sastra supaya mereka di anggap “Berbudaya tinggi dan bukan dari golongan orang biasa?”
Perbedaan ideologi tentu saja adalah sesuatu yang sah-sah saja dalam kehidupan manusia, apalagi dalam kehidupan politik. Perbedaan ideologi membuat kehidupan tidak lagi dibayang-bayangi oleh momok The Big Brother Orwellian, yang seperti malaikat maut terus-menerus menuntut kematian mereka yang tidak patuh. Malah perbedaan ideologi mesti diharuskan dalam kehidupan. Betapa membosankan kalau semua puisi Indonesia adalah sajak protes. Betapa menjemukan kalau semua puisi Indonesia adalah sajak foreplay yang masturbatori begitu-begitu saja. Begitu juga novel, cerpen, dan esai. Yang kita inginkan adalah multiorgasme dalam multiklimaks yang lebih panjang dari sebuah angkatan, sebuah generasi sastra. Saat ini, politik sastra telah membuat sastra kontemporer kita menjadi sastra yang impoten, sastra yang frigid, dan sastra yang tidur dalam kulkas.




YT SELESAI TY

1 komentar:

  1. Betway Casino Review 2021 | Casino - DrmCD
    Play 정읍 출장마사지 in 제주도 출장샵 a casino 여주 출장안마 with an 광명 출장샵 impressive welcome bonus, fantastic games, and generous promotions at your disposal. No deposit bonus offers can be claimed. Rating: 군포 출장안마 4.6 · ‎Review by DrmCD

    BalasHapus